Agama dan Tantangan Modernitas



Oleh Happy Susanto



Dimuat dalam Harian Republika, Selasa, 07 Oktober 2003.



Agama "ditantang" untuk bisa hidup secara eksistensial. Agama pun diharapkan memiliki signifikansi moral dan kemanusiaan bagi keberlangsungan hidup umat manusia. Secara realistik, tugas semacam itu masih dibenturkan dengan adanya kehadiran modernitas yang terus-menerus berubah dan menari-nari di atas pusaran dunia sehingga menimbulkan gesekan bagi agama.



Dalam penampakan dunia yang sangat kompleks ini, peran agama tidak bisa dipandang sebelah mata. Kehidupan yang sangat dinamis ini merupakan realitas yang tidak bisa dihindarkan dan perlu direspon dalam konstruksi pemahaman agama yang dinamis pula.



Tarik-menarik antara tradisi (agama) dan modernitas menjadi wacana yang masih hangat untuk selalu diperdebatkan. Ada kesan bahwa agama itu bertolak belakang dengan modernitas.



Munculnya gerakan "otentisisme Islam" dan "universalisme Islam" adalah salah satu fenomena yang katanya dianggap bisa "melawan" modernitas. Tapi, kecenderungannya malah memahami agama baru sebatas normativitas saja. Mereka kurang bisa mengapresiasi ajaran agama pada sisi historisitas. Modernitas merupakan bagian dari proses sejarah dunia dan umat manusia.



Keterpurukan kondisi umat manusia bukan hanya disebabkan karena "penyalahgunaan" peran agama oleh penganutnya saja, tapi yang tak kalah hebat juga dikarenakan pengaruh sisi negatif yang dihasilkan modernitas. Isu seperti tantangan globalisasi, kerusakan lingkungan hidup, penindasan HAM, adalah beberapa bukti bahwa modernitas perlu diantisipasi secara kritis.



Dalam menanggapinya, kita jangan malah menentangnya secara frontal, tapi memilah dan memilih mana bagian dari modernitas yang baik dan mana yang tidak, dan disertai dengan adanya upaya pembaruan pemahaman ajaran agama agar bisa berperan secara signifikan.



Klaim-klaim universalitas dan otentisitas yang diusung beberapa kalangan Muslim sebenarnya memendam banyak "kerancuan" makna. Apakah Islam yang selama ini kita pahami sudah bisa dianggap sebagai agama yang mapan, abadi, final, dan tidak bisa diubah pemahamannya?



Kenapa kita tidak bersedia melihatnya secara "dualitas", yaitu bahwa ada ajaran yang normatif dan ada pula ajaran yang sudah membumi dalam konteks historis? Beragama itu adalah sebuah "proses" untuk selalu memahami, menafsirkan, dan menerjemahkan apa yang dimaksud oleh Tuhan yang terangkum dalam sumber ajaran-Nya, tanpa mengenal akhir dari sebuah pencarian.



Selama ini agama dipahami sebagai "organized religion", yaitu agama yang terorganisir sehingga menjadi mapan dan dikonstruk secara menyeluruh, yang kemudian menyebabkan keberadaannya "mengurusi" segala hal yang dihadapi manusia. Agama ini, meminjam kerangka postmodernisme, bisa jadi mengarah pada "narasi besar" grand narrative yang mengukung apa-apa yang menjadi bagian dari kehidupan umat manusia.



Ada kesan bahwa para penganutnya hanya diminta untuk menerapkan secara penuh dan langsung apa yang telah menjadi ajaran (normatif) agama. Agar bisa dikomunikasikan dengan realitas perubahan zaman dan kenyataan historis umat manusia, maka perlu ada penafsiran ulang (reintepretasi) terhadap pemahaman agama dan juga mentransformasikan seluruh nilai-nilai substansialnya ke dalam realitas sosial. Dan juga ada dimensi pembebasan atau emansipasinya.



Nashr Hamid Abu Zayd, dalam kitab Mafhumun-Nash: Dirasah fi 'Ulumil Qur'an (1990), menyebut bahwa Al-Quran adalah "teks kebudayaan" muntaj tsaqafiyun. Ia adalah sebuah teks rujukan keagamaan Islam yang sangat lentur dan dinamis.



Dikatakan demikian, karena kenyataannya bahwa ketika Al-Quran diturunkan itu tidak terlepas dari konteks historisnya. Perekaman sejarah yang dilakukan dalam bentuk ayat-ayat itu adalah bentuk "dialogisasi" atau dialektika antara teks dan realitas, antara teks dan kebudayaan.



Jadi, tidak semata-mata bahwa Tuhan menghendaki teks "A" lalu Nabi hanya menerima begitu saja. Nabi pun tidak lepas dari bagaimana beliau menerjemahkan teks itu ke dalam kenyataan sosial pada saat itu. Jika problemnya adalah bahwa teks ternyata justru "mendukung" adanya ketidakmanusiawiaan pengamalan hukum dan ajarannya, maka usaha kita adalah harus menafsirkannya secara kontekstual.



Pemahaman agama tidak menghendaki adanya "finalisasi" gagasan dalam memahami makna agama. Istilahnya bisa disebut dengan "unfinished religion". Artinya kebenaran yang terkandung di dalamnya masih bermakna relatif. Yang absolut adalah Tuhan itu sendiri. Penyertaan lokalitas dan kontekstualisasi perlu diapresiasi dalam menghadirkan agama yang positif dan dinamis sehingga pemahamannya tidak final, alias berproses.



Pemahaman kita mengenai agama haruslah dinamis. Untuk memahaminya perlu menggunakan "akal kreatif" di mana rasionalitas ternyata bisa membantu dalam pencarian kebenaran sebuah agama seperti dikatakan Ibnu Rusyd. Sebagai sebuah "instrumen", kebenaran yang dihasilkan dengan akal tentunya masih bersifat relatif dan pemahaman yang dihasilkannya pun juga bisa relatif.



Tapi, yang jelas dengan adanya kebebasan berfikir manusia dituntut mampu memahami agama menurut keyakinan dan usaha ijtihadnya. Sesungguhnya agama itu terkait dengan ragam kontruksi penafsiran manusia, ketika konteks berubah maka pemahamannya pun bisa berubah.



Agama dalam pengertian normatif mengandung makna konteks individual seseorang, di mana beragama adalah hubungan antara Tuhan dan manusia. Tapi, agama yang tidak bisa terlepas dari konteks historis-sosiologis, yaitu sebagai agama yang menyejarah ini, maka memungkinkan bagi manusia untuk memahaminya dalam konteks bagaimana agama itu dipahami pada suatu saat (kekinian) dan pada suatu tempat (kedisinian). Sehingga, pemahaman yang dilekatkan pada agama ini menjadi sangat dinamis.



Klaim universalitas dan otentisitas (Islam) yang sering kita pahami hanya melihat pada sisi normativitasnya saja, tapi belum bisa menyejarah menyertai perubahan dan kemajuan zaman. Dalam konteks historis, sisi partikularitasnya perlu dilihat juga, yaitu bahwa ada dimensi di mana agama hanya ditafsirkan secara substansial, atau ultimate value dan ratio-legis-nya yang seharusnya lebih dikedepankan. Dengan begitu, pemaknaan terhadap teks agama akan melebur pada situasi di mana konteks dan realitas yang melingkupi kehidupan manusia menjadi sangat diperhitungkan.



Di tengah pluralitas umat manusia yang sangat majemuk dan pemahaman manusia yang sangat beragam, maka sudah saatnya kita melepaskan diri dari pemahaman keagamaan yang sempit. Kini, kita beragama secara berproses untuk terus-menerus memahami apa yang terkandung dalam teks dengan melihat pada perubahan realitas yang sangat dinamis.



Maka, dimungkinkan bagi agama untuk mampu berdialog dengan segala macam perubahan zaman. Itu semua terletak pada bagaimana diri kita sebagai penganut agama mau berpikir secara rasional dan kritis dalam menafsirkan teks-teks keagamaan. Perlu ada pembaruan wacana agama yang dihubungkan dengan konteks kekinian (historisitas) dan kedisinian (lokalitas).



Pembacaan kritis terhadap agama dengan "merevitalisasi" tradisi turats akan mampu merespon tantangan modernitas. Agama dan modernitas bukanlah dua kutub yang selamanya akan selalu berlawanan, tapi akan terjadi ruang dialog dan kritik dalam menyikapi segala macam perubahan. Sehingga, agama tidak lagi dikata "mati" di tengah carut-marutnya dunia sehingga mampu menghadirkan dirinya di tengah-tengah berkecamuknya tarian modernitas saat ini.



Sumber: http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=142097&kat_id=16

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Agama dan Tantangan Modernitas "

Post a Comment